Subscribe:

Contact

+6285241330699; +6285397403917 www.twitter.com/anastasyadebby

Sabtu, 29 Oktober 2011

Guru Lingkungan Hidup: Rilce Hikmawati

Rilce Hikmawati: Guru Lingkungan dari Biromaru


RILCE HIKMAWATI
Lahir : Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah, 14 April 1965


Suami : Sutrisno, Guru SMA Marawola, Sigi
Anak :
- Sulistiawaty
- Wulan Cahya Ramadhani
- Bagus Satrio
Pekerjaan : Guru dan Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Biromaru, Sigi
Pendidikan :
- SD Biromaru, 1976

- SMP Biromaru, 1980
- SMA Negeriu 1 Palu, 1983
- Diploma III Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Tadulako, Palu,
1986
- S-1 Jurusan Bahasa Inggris,Fakultas Sastra, Universitas Tadulako
Organisasi :
Aktif disejumlah organisasi guru, organisasi wanita muslimat NU, dan PKK

Selama sembilan tahun dia terus -menerus memberikan pemahaman tentang menjaga lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan. Terlebih jika ia berada ditengah perilaku masyarakat yang abai pada lingkungan sekitarnya. Bagi Rielce Hikmawati, tak ada kata berhenti untuk mengubah pola pikir dan perilaku orang.

OLEH RENY SRI AYU

Sebenarnya, apa yang dilakukan Rielce sederhana. Ia, misalnya, meminta orang tak membuang sampah sembarangan serta membagi sampah dalam tiga kategori, yakni sampah organik, non organik, dan yang bisa didaur ulang.
Ia juga menganjurkan untuk efisien menggunakan barang yang berpotensi menjadi sampah dan bagaimana mendaur ulang sampah menjadi berbagai kreasi, termasuk membuat pupuk dari sampah.
Semua itu dia ajarkan dan biasakan kepada murid dan guru di SMP Negeri I Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah sejak 2002. Di sekolah ini, Rielce menjadi pengajar sekaligus kepala sekolah.
Hasilnya, lingkungan SMPN I Biromaru bersih dan hijau. Tempat sampah yang diberi cat berbeda sesuai dengan klasifikasi sampah tersebar di setiap sudut sekolah.
Awalnya, tak mudah bagi Rielce mengubah pola pikir dan perilaku mereka. Semua itu dia lakukan secara bertahap. Pada 2002, urusan kebersihan ditetapkan dengan tata tertib dan sanksi denda. Siswa yang membuang sampah sembarangan didenda Rp 500, sedangkan guru Rp 1.000.
Agar tata tertib berjalan efektif, semua orang di lingkungan sekolah punya kewenangan mengawasi dan menegur. Murid bisa menegur sesama murid, bahkan guru. Sebaliknya, guru pun mengawasi dan menegur sesama guru dan murid.
"Untuk membuat tata tertib ini, saya mengundang orangtua murid duduk bersama. agar tak terjadi kesalahpahaman. Awalnya banyak yang protes, tetapi dengan pemahaman bahwa ini untuk kepentingan bersama, mereka setuju," katanya.
"Tak mudah mengubah pola pikir dan perilaku mereka," ujar Rielce. Untuk setiap murid baru, misalnya, perlu waktu sekitar setahun sampai mereka benar-benar sadar untuk menjaga lingkungan. Banyak pula guru yang kena tegur murid karena membuang sampah sembarangan.
Pada 2004, masalah kebersihan dan menjaga lingkungan tak sebatas tata tertib, tetapi dimasukkan dalam muatan lokal. Siswa diberi pengetahuan tentang hidup bersih, menjaga lingkungan, dan kaitannya dengan berbagai bencana, seperti banjir dan kekeringan. Siswa juga dibawa melihat banjir dan kekeringan yang terjadi di sejumlah kecamatan di Sigi.
Kesadaran murid akan pentingnya lingkungan kian tinggi. Sanksi denda dihapuskan sejak 2005. Rielce ingin tahu apakah perilaku "taat" selama ini karena denda atau memang kesadaran. Ternyata, murid dan guru benar-benar sadar untuk menjaga lingkungan.

Mata pelajaran

Pada 2009, Rielce memasukkan lingkungan hidup sebagai mata pelajaran yang diajarkan dua jam dalam sepekan. Namun, ketiadaan guru khusus lingkungan hidup serta biaya dan keterbatasan materi pelajaran menjadi sebagian kendala.
Ia menyiasatinya dengan memanfaatkan guru Olahraga, Keterampilan, dan Biologi untuk membantu mengajar Lingkungan Hidup. Mereka lebih dulu dibekali materi tentang lingkungan hidup, antara lain dari Badan Lingkungan Hidup Sigi dan Sulawesi Selatan, juga dengan mengikuti seminar dan berbagai diskusi.
Sebagai mata pelajaran, materi Lingkungan Hidup tak terbatas mencegah banjir dan menjaga kebersihan, tetapi diperluas pada pola hidup sehat, termasuk makanan sehat dan hemat energi.
Di sekolah disediakan kantin sehat. Pedagang makanan di sekitar sekolah diminta membuat makanan sehat dan secara rutin dipantau unit kesehatan sekolah. Siswa dibiasakan menggunakan buku dan peralatan tulis seefisien mungkin. Setiap Jumat, dalam kerja bakti diajarkan pembuatan kompos.
Agar lebih variatif, Rielce meminta petugas puskesmas berbagi pengetahuan di sekolah tentang hidup bersih, makanan sehat, serta dampaknya bagi kesehatan dan lingkungan. Pihak kepolisian pun diundang terkait dengan penyalahgunaan narkoba.
Ia mengatur dana bantuan operasional sekolah untuk memnuhi biaya yang dibutuhkan bagi kegiatan operasional sekolah, termasuk pelajaran Lingkungan Hidup. Upayanya menjadikan SMPN I Biromaru sebagai satu-satunya sekolah di Sigi, bahkan Sulawesi Tengah, yang memiliki mata pelajaran Lingkungan Hidup.

Demam berdarah

Ada dua kejadian yang membulatkan tekad Rielce untuk konsisten memberikan penyadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan. Pada 2002, turun hujan deras yang membuat SMPN I Biromaru tergenang karena tersumbatnya saluran air dengan sampah plastik, bekas bungkusan makanan, dan air mineral.
Peristiwa lain adalah wabah demam berdarah yang membuat sebagian siswa sakit karena sekolah menjadi sarang nyamuk.
Awalnya, petugas puskesmas di panggil untuk pengasapan. "Saya perhatikan, nyamuk hanya pingsan, lalu terbang lagi. Saya sadar, pengasapan bukan penyelesaian masalah. Saya lalu meminta semua siswa dan guru berperilaku bersih. Tanaman serai dan beberapa tumbuhan lain yang tak disukai nyamuk ditanam. hasilnya, sekolah bebas dari nyamuk dan tak banyak lagi siswa yang kena penyakit demam berdarah," katanya.
Apa yang dia lakukan selama sembilan tahun ini tak serta-merta membuat siswa sadar akan pentingnya merawat lingkungan. Apalagi buat mereka yang lingkungan tempat tinggalnya tak mendukung.
"Namun, saya optimis dan berprasangka baik. Kalau setengah saja dari murid tamatan sekolah ini membawa perilaku sadar lingkungan kemana dia pergi dan menerapkannya di lingkungan sekitarnya, itu akan membuat lingkungan kita terjaga. Setidaknya mengurangi jumlah orang yang berperilaku merusak lingkungan," katanya.
Rielce bercerita, semangatnya tetap menyala antara lain karena siswa SMPN I Biromaru yang tamat dan melanjutkan sekolah ke SMA di mana pun selalu terkenal dengan kerapian, kebersihan, dan bijak memperlakukan sampah.
"Saya diberi tahu guru-guru mereka, murid tamatan SMPN I Biromaru ketahuan dari cara mereka membuang sampah, mengantongi bungkus makanan jika tak menemukan tempat sampah, dan kerapihan mereka. Ini melegakan. Mereka membawa kebiasaan baik itu dan semoga selalu begitu," katanya.
Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup di Kabupaten Sigi, 27 Juni lalu, Rielce mendapat penghargaan sebagai salah satu pejuang lingkungan dari Kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sigi.
Penghargaan itu bukan alasan untuk apa yang dia lakukan. "Kalaupun diberi penghargaan, kami bersyukur dan melihatnya dalam konteks punya teman yang sepaham," katanya.

Dikutip dari KOMPAS, SENIN, 4 JULI 2011

Source: http://sutarko.blogspot.com/2011/07/rielce-hikmawati-guru-lingkungan-dari.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar